Melihat dari Dekat: Rumah Gubuk dan Reot Masih Jadi Kenyataan, Bukan Sekadar Cerita
Sebagai warga yang setiap hari melihat langsung kondisi ini, saya merasa tergugah. Sebab di balik rumah-rumah megah yang berdiri tegak, masih ada bilik bambu yang sudah miring, atap bocor ketika hujan datang, dan dinding yang nyaris rubuh menjadi tempat bernaung keluarga yang menggantungkan harap pada bantuan sosial yang tak kunjung datang.
Rumah bukan hanya bangunan. Ia adalah tempat tumbuh, tempat pulang, tempat anak-anak belajar mengenal dunia dan keluarga membina harapan. Namun bagaimana anak-anak bisa belajar dengan tenang jika genteng bocor dan angin malam menerobos dinding kayu rapuh?
Kita patut bertanya: apa arti kemajuan sebuah wilayah jika masih banyak warganya tinggal di tempat yang jauh dari kata layak? Apakah pembangunan hanya untuk mereka yang mampu membayar harga tanah dan besi beton?
Tulisan ini bukan sekadar kritik. Ini adalah panggilan nurani—bagi siapa pun yang memiliki kuasa, jabatan, atau bahkan niat baik—untuk lebih peka terhadap sekitar. Masyarakat kecil tidak menuntut banyak. Mereka hanya ingin hidup dengan aman dan layak.
Sudah saatnya kita tidak hanya bangga dengan kota yang terang dan megah, tapi juga peduli dengan sudut gelap yang butuh diterangi.(Sarman)